Mengapa Mutu Guru Indonesia Sangat Rendah?


Rendahnya mutu guru Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan bahwa guru Indonesia hanya berhasil mendapatkan nilai 44,5 atau masih di bawah rata-rata nasional. Saat ini, total guru yang mengikuti UKG mencapai 243.619 orang dan skor yang didapat rata-rata 44,55. Bahkan, tidak ada seorang pun guru yang berhasil meraih nilai maksimal 100. Nilai tertinggi UKG hanya 91,12. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai Uji Kompetensi Awal (UKA) beberapa waktu, yakni 42.

Kondisi di atas ternyata berpengaruh buruk terhadap kualitas pendidikan nasional. Survei dari World Bank yang melibatkan sedikitnya 12 negara di Asia menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi terendah se-Asia. Riset lainnya yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment(PISA) juga menunjukkan hal yang sama, yaitu kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam bidang Matematika dan Sains cenderung terpuruk.

Informasi di atas tentu perlu disikapi secara bijak oleh semua pihak, khususnya guru. Di saat kesejahteraan guru mulai meningkat melalui pemberian Tunjangan Profesi Guru (TPG), mengapa justru mutu guru dan pendidikan nasional menurun? Jika guru disalahkan, tentu mereka akan menolaknya karena mereka justru sudah mengantongi sertifikat pendidik yang notabene menjadi bukti legal sebagai guru profesional. Lalu, di manakah kita bisa menemukan letak kesalahan itu agar dapat segera dibenahi sehingga penurunan kualitas itu dapat ditekan?

Ada tiga faktor yang menjadi penyebab rendahnya mutu guru sekarang. Ketiga faktor itu adalah kesalahan metode rekrutmen guru, kemiskinan pendidikan dan pelatihan, dan ketiadaan jaminan karier. 

Pertama, metode rekrutmen guru yang salah kaprah. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, rekrutmen guru PNS menjadi kewenangan daerah. Kebijakan ini berpotensi negatif terhadap menurunnya kualitas guru.

Saat ini, pemerintah berada di persimpangan jalan untuk mengatasi permasalahan guru yang termasuk Kategori 2 (K2). Guru-guru K2 rerata memiliki masa kerja puluhan tahun sehingga kisaran usianya tentu berada pada usia kurang produktif. Dilema itu bermula karena pemerintah pernah menjanjikan bahwa guru-guru K2 akan diperhatikan nasibnya. Bentuk perhatian itu terlihat pada upaya rencana penerapan Pegawai Pemerintah Kontrak (PPK) atau sejenisnya. Pada sisi lain, pemerintah memerlukan PNS Guru baru untuk menggantikan pegawai yang memasuki usia pensiun. Terjadinya dualisme model rekrutmen ini mau tak mau tentu akan mempengaruhi kualitas pendidikan.

Kondisi di atas diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengizinkan calon guru boleh berasal dari lulusan non-LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Pendidikan). Dahulu, calon guru hanya berasal dari lulusan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan), IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), dan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sekarang, semua warga negara bisa menjadi calon guru asalkan memenuhi persyaratan administrasi. Pemerintah lupa bahwa profesi guru tidak hanya dibentuk dengan karakter keilmuan, tetapi juga jiwa pendidik.

Kedua, kemiskinan pendidikan dan pelatihan guru. Pemerintah masih teramat sedikit mengalokasikan anggaran untuk beasiswa pendidikan dan pelatihan guru. Kondisi itu menyebabkan minimnya guru yang berasal dari jenjang pascasarjana. Jika guru berkenan meneruskan jenjang pendidikannya, itu semata berasal dari kesadaran pribadinya. Guru yang memiliki kesadaran itu masih teramat sedikit, bahkan terbilang langka.

Pemerintah memperparah kondisi itu melalui minimnya kegiatan pelatihan guru. Dalam setahun, rata-rata guru Indonesia hanya diberikan dua kali pelatihan. Bahkan, pelatihan-pelatihan itu pun masih terbatas bagi guru dengan mata pelajaran tertentu. Kondisi makin memprihatinkan lagi karena sekolah dan atau dinas pendidikan sering menunjuk guru-guru tertentu yang sebenarnya sudah memiliki jam terbang pelatihan cukup tinggi. Ibarat nyanyian Rhoma Irama: si kaya makin kaya, maka si pintar makin pintar dan si bodoh makin tertinggal. Harus diakui bahwa pendidikan lanjutan dan pelatihan dapat mengubah mind set guru.

Pemerintah memang memiliki kepedulian seraya memberikan Beasiswa Unggulan (BU) Kemendikbud. Sayangnya, kebijakan ini dapat dikatakan kebijakan salah sasaran karena justru guru-guru pintar dan berprestasi yang diberikan BU. Selain itu, guru pun mengalami kesulitan untuk menembus birokrasi BU. Kesulitan guru makin bertambah karena nilai biaya pendidikan hanya dihitung berdasarkan kebutuhan dasar kuliah sehingga guru harus berani merogoh isi kantong sendiri. Bahkan, guru pun masih dipersulit lagi oleh birokrasi daerah ketika mengurus izin belajar atau tugas belajar.

Ketiga, ketidakpastian karier guru. Ada ungkapan bahwa air itu mengalir ke bawah yang berarti kualitas air di bawah sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber air di atasnya. Filosofis ini mestinya digunakan untuk memerhatikan karier guru. Banyak sekali guru berprestasi tidak diperhatikan kariernya. Pengangkatan kepala sekolah, pengawas sekolah, dan pejabat pendidikan sering diwarnai oleh beragam kebijakan kontraproduktif dengan tujuan pendidikan.

Kondisi di atas menyebabkan guru-guru berprestasi mandul. Prestasinya hanya berguna di lingkup terkecilnya, yaitu diri dan muridnya. Di sekolah, guru berprestasi tentu malu jika menyampaikan beragam ide kepada sesama guru atau pimpinannya. Tentunya kondisi ini perlu disesali karena seharusnya prestasinya itu dapat ditularkan kepada lingkungan yang lebih luas. Virus prestasi itu akan mudah menyebar jika guru berprestasi memiliki jabatan atau kewenangan untuk mempengaruhi lingkungan.

Dunia pendidikan harus dibenahi agar kualitas guru dan pendidikan tidak makin terjun bebas. Pemerintah harus sigap dan bergerak cepat seraya mengakomodasi masukan dari masyarakat. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya tidak dapat diketahui esok hari. Kepala daerah perlu segera memperbaiki metode rekrutmen guru agar diperoleh guru-guru yang berkualitas.

Rekrutmen guru perlu dilakukan secara objektif, transparan, dan kredibel. Ketika sudah diperoleh guru yang berkualitas, pemerintah perlu memberikan fasilitas peningkatan mutu melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan secara berkali. Diklat ini pun perlu diberikan kepada guru yang benar-benar memerlukan peningkatan kompetensi. Dari kebijakan itulah, akan tercetak guru-guru yang berkualitas yang kelak akan menjadi pemimpin di lingkungan, daerah, dan negaranya. Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional 2015. Dirgahayu para pendidik Indonesia!
Oleh Johan Wahyudi
Guru SMP Negeri 2 Kalijambe
jwah1972@gmail.com

0 Response to "Mengapa Mutu Guru Indonesia Sangat Rendah?"