Surat Terbuka untuk Nadiem Makarim dari Guru di Pedalaman Papua
Namanya Diana Da Costa. Gadis manis berdarah
Timor Leste ini memilih mengabdikan hidupnya menjadi guru muda dalam
program guru penggerak daerah terpencil di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju,
Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.
Tahun
ini Diana berumur 23 tahun. Guru muda itu lulusan Universitas Nusa Cendana
2017, jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Diana
sangat cinta Indonesia. Terbukti saat penentuan jejak pendapat di Timor
Leste, ia dan ibunya memilih tetap menjadi warga negara Indonesia dan sang
ayah berpindah warga negara menjadi Timor Leste.
Diana
berkisah mulai mangabdikan hidupnya di pedalaman Kabupaten Mappi
Papua sejak November 2018. Kali pertama menginjakkan kaki di pedalaman
Mappi Papua, ia menangis karena anak-anak di kampung itu tak bisa menyebutkan
identitas negaranya sendiri.
"Mereka
menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora. Lagu kebangsaan
Indonesia Raya pun tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas 6. Paling fatal lagi
Pancasila tidak bisa dihafalkan sama sekali," kata Diana kala itu.
Ia
menangis, mau di bawa kemana nasib anak Papua?
Ada
sedikit harapan yang digantungkan kepada Menteri Pendidikan yang baru, Nadiem
Makarim. Diana pun menulis surat terbuka untuk Menteri Pendidikan Nadiem
Makarim. Berikut isi suratnya.
Tidak
pernah terlintas dibenak saya sebagai seorang guru muda, ketika harus menerima
SK tugas di kampung sejuta ikan Gastor dan Betik, sebutan kampung di Kabupaten
Mappi, Provinsi Papua. Seperti apa kampung itu? Kampung yang jauh, terbelakang,
terisolir, ter, ter semuanya kata mereka…..
Jumat,
16 November, saya ingat betul bertolak dari Distrik Asgon (Asue Gondo)
Kabupaten Mappi ke Distrik Kaibusene dengan melewati kali besar menggunakan
ketinting, sebutan perahu kecil dengan kapasitas penumpang 7 orang.
Sebelumnya,
kami berangkat dari Merauke ke Asgon naik Kapal Kokonao selama 3 hari
perjalanan melalui jalur sungai yang berkelok-kelok
Apele,
sedikit dialek Papua Animha yang sama artinya dengan ya ampun. Perjalanan
yang cukup jauh, bertemu dengan ikan gastor yang melompat masuk ke ketinting,
bertemu dengan tebu rawa yang cukup menguras tenaga untuk dilewati.
Apele,
perjalanan kurang lebih 5 jam, mamayoo. Baru melihat kampung tetangga.
Sebenarnya tidak berputar jauh, tetapi musim kemarau kalinya kering sehingga
ketinting tidak bisa melewati kali potong okor, maka Asgon menjadi jalur satu
satunya menuju ke tempat saya mengajar di Kampung Kaibusene. Lima jam sudah
perjalanan dan bunyi mesin, seperti ingin memecahkan telinga.
Akhirnya
gapura Pelabuhan Kaibusene mulai nampak. Air mata mulai pelan-pelan jatuh
terurai, entah apa yang membuatnya jatuh. Tetapi air mata seolah tak mau kering.
Disini,
kehidupan nyata yang berbanding terbalik dari di kota-kota ataupun desa-desa
lainnya dapat ditemukan. Di sini, kampung kecil dengan suasana nyaman, aman,
damai tenang, sunyi dan sepi.
Kemana
masyarakat? ke hutan mencari gaharu dan makanan. Pele, jadi anak
sekolah dorang (mereka) dibawa semua ke hutan ? Dimana aktivitas
persekolahannya??? Bah, guru cuma seorang diri saja di tambah 1 honorer
sekolah yang harus mengajar 100 sekian siswa… mengharukan…..!!!!!! Dimana letak
sekolahnya? kurang lebih 500 meter dari sini, bu…
Pele.
Yo, mari sudah coba kita kesana. Sio, Ya Tuhan, air mata harus mengalir
lagi, kenapa?? 6 tingkatan kelas cuma ada 3 ruangan? Ya itu nyatanya. Bagaimana
pembelajaran tiap hari? Digabungkan kelas 1 dan 2, 3 dan 4, 5 dan 6. Bayangkan
2 orang guru harus menangani 6 kelas dalam 3 ruangan. Apa yang anak didik
dapatkan?? Bagaimana nasib generasi berikutnya kalau seperti ini terus ???
Belum
lagi ketika guru ada urusan di Kabupaten, anak didik mau tidak mau harus
diliburkan. Belum lagi gurunya pergi dengan alasan urusannya berbulan-bulan,
siapa yang mau mengajari mereka? Pertanyaannya, mau tidak mau
anak-anak ya berkeliling ke hutan, tinggal di lokasi tempat mencari
makan dan gaharu mengikuti orangtua mereka.
Saya
kembali melihat secarik kertas bertuliskan, Nota tugas no 814.1/2156. a/n Diana
Cristiana Da Costa Ati, S.Pd bertempat tugas di Kampung Kaibusene, Kabupaten
Mappi Papua. Apa yang akan saya buat selama 2 tahun? Dalam kurun waktu
yang singkat untuk memajukan pendidikan di Mappi sebagai seorang Guru Penggerak
Daerah Terpencil (GPDT)? Kadang saya dan 2 orang teman guru GPDT, Antonius
Tampani dan Indah Rovitha Meyok menghabiskan makan malam kami dengan berdiskusi
singkat. Kami semua tak pernah menyangka masih ada kehidupan seperti ini di era
reformasi. Ini salah siapa? Menggelengkan kepala dan menarik napas panjang, hal
itu yang bisa kami perbuat.
Nyatanya
anak-anak Kaibusene tidak bodoh, semuanya bisa hanya ibaratnya pisau yang belum
di asah, maka belum tajam.
Anak-anak…..
Ko Pu Cita-cita Apa?
Sa
(saya) mau jadi dokter, polisi, tentara, guru, suster dan pastor. Sio ko (kamu)
rajin belajar di sekolah, ko datang ke ibu pu (punya) rumah, baca buku
sore-sore, ko pasti bisa yang jadi ko mau. Jauh dari anak-anak seumuran yang di
kota, ketika ditanya mau jadi apa nanti? mau jadi power rangers, batman
dan lain-lain…..
Ya
Tuhan…..Mimpi itu LUKA..
11
Januari 2019
Hal
paling aneh di Republik ini adalah ketika seorang PNS tidak menjalankan
tugasnya bertahun-tahun pun tidak dipecat. Memakan dana BOS besar-besaran
karena dirinya beranggapan seorang Bos, tidak juga ditindak, dilanjuti
perbuatannya. Padahal bukti fisiknya jelas mengatakan orangnya bersalah. Lalu
mengapa semuanya diam dan membisu? Kita memelihara generasi perusak masa depan
bangsa. Akankah ini berakhir atau berlanjut? Pertanyaan refleksi untukmu yang
terhormat, sampai kapan? Beratus-ratus juta hingga milyaran rupiah uang negara
untuk bantuan pendidikan di makan hingga tak tersisa, yang tersisa hanya
bangunan yang berpuluh-puluh tahun layaknya gudang atau kandang babi harus
ditempati untuk menuntut ilmu, inikah Indonesia???
Ini
budaya yang sudah terjadi sebelum atau sesudah Mappi menjadi kabupaten baru,
pemekaran dari kabupaten Merauke. Mau dibawa kemana, kalau budaya seperti ini
tidak dibasmi? Jangan harap pendidikan yang sejahtera, anak didik ke sekolah
tanpa menggunakan seragam, mereka layaknya berpakaian untuk ke hutan tetapi
mereka memakainya ke sekolah.
Duduk
belajar di bawah lantai tanpa kursi. Mau pakai kursi duduk, kursinya patah. Mau
tulis di meja, tetapi saat tulis mejanya bergoyang. “Ibu guru, kami takut patah
mejanya,” kata seorang murid.
Mau
beli kursi, para kepala sekolah Dana BOS tidak jelas pemakaiannya. Lalu, kenapa
Dinas Pendidikan Kabupaten Mappi selalu menyetujui LPJ (Laporan
Pertanggungjawaban) yang dibuat oleh kepala sekolah? Sedangkan pemakaiannya
tidak sesuai? Apa ada campur tangan orang dalam dan pejabat sekolah? Wah gawat,
sangat disayangkan. Apapun yang mereka gunakan, yang penting mereka mau
menuntut ilmu, mau salahkan siapa? Inilah Mappi….
Sekolah
ditutup berbulan bulan bahkan tahunan. Guru-guru ke kota dengan alasan mengurus
Dapodik (Data Pokok Peserta Didik) dan dana BOS. Padahal, ke kota hanya
habiskan dana bos, lalu ke kampung buka sekolah untuk Ujian Nasional.
Itulah
Mappi, kebanyakan sekolah dijuluki sekolah UJIAN. Anehnya lagi sewaktu Ujian
Nasional setiap siswa dipungut Rp500 ribu, entah untuk apa itulah yang terjadi
di Kampung Kaibusene sejak beberapa tahun terakhir.
Diskusi
singkat dengan salah satu masyarakat pu terjadi. “Ibu guru, tolong pada saat
ujian jangan dibayar lagi eee, nanti sa (saya) pu (punya)
anak tra (tidak bisa) bisa ikut ujian lagi.”
Saya
hanya bisa mengelus dada dan berkata ‘Tuhani ….
“Mace (ibu),
siapa yang bilang ujian itu bayar? Kita wajib belajar 9 tahun itu
gratis Mace, trada pungutan liar begitu.”
“Bah,
ibu guru, baru selama ini kami bayar pas ujian mahal-mahal itu apa?” kata si
ibu lagi.
Pendidikan
mematikan masyarakat namanya. Bayangkan saja, kalau dalam rumah 3 – 4 anak yang
ikut Ujian Nasional, sudah berapa biaya yang dikeluarkan? Dengan susah payah
orangtua mencari biaya, agar anaknya bisa mendapat ijazah di bangku sekolah
dasar dan pejabat sekolah kenyang dengan perbuatannya. Sungguh kejam!!!
Ya
wajar dijuluki demikian, sebab dibuka pada saat ujian. Waktu ujian guru mencari
murid di hutan. Lucu, aneh, mengharukan, tapi ini fakta. Lebih disayangkan lagi
bangunan sekolah dan fasilitasnya sangat mengharukan, layaknya sebuah kandang.
Ow
Mappi… Uang dan uang suatu saat akan membunuh generasimu…..
Ini
mau salahkan siapa? Ini masalah butuh solusi. Bupati Kabupaten Mappi yang baru
terpilih Rito Agawemu, salah seorang pemimpin muda yang punya gebrakan untuk
memajukan pendidikan di Mappi. Beliau seorang pemimpin yang tegas, kurang lebih
1 tahun yang lalu mendatangkan kami GPDT yang direkrut oleh Universitas ternama
di Indonesia yaitu UGM.
GPDT
hadir atas kerjasama gugus tugas Papua UGM dan Pemda Kabupaten Mappi untuk
membasmi pelan-pelan virus buta huruf di Mappi. Apakah 2 tahun cukup? Untuk itu
saya menulis cerita singkat ini kepada bapak berdasi yang terhormat yang ada di
Ibu Kota Negara. “Cobalah sesekali ke Papua, tepatnya Kabupaten Mappi Distrik
Haju Kampung Kaibusene. Kami menunggu bapak ke sekolah ini.”
Untukmu
Bapak Menteri Pendidikan yang baru, kami sangat menantikan program kerja
Nasional untuk mencerdaskan anak-anak di pelosok negeri ini, di daerah
tertinggal, terbelakang, terisolir dan ter… ter lainnya…..
Salam
Hormat,
Guru
Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.
Diana
Cristiana Da Costa Ati, S.Pd
Sumber : https://m.liputan6.com
0 Response to "Surat Terbuka untuk Nadiem Makarim dari Guru di Pedalaman Papua"