Peringkat 6 Terbawah, Indonesia Diminta Tinggalkan Sistem Pendidikan 'Feodalistik'
Dalam survei kualitas pendidikan yang keluarkan oleh PISA, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Pengamat menilai kompetensi guru yang rendah dan sistem pendidikan yang terlalu kuno menjadi penyebabnya.
Survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student
Assessment (PISA), pada Selasa (3/12) di Paris, menempatkan Indonesia di
peringkat ke-72 dari 77 negara.
Data ini
menjadikan Indonesia bercokol di peringkat enam terbawah, masih jauh di bawah
negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Survei PISA
merupakan rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia, yang menilai
kemampuan membaca, matematika dan sains.
Mengapa
kualitas pendidikan Indonesia begitu buruk?
Kompetensi
guru dan sistem yang membelenggu
Menurut pengamat
pendidikan Budi Trikorayanto, setidaknya ada tiga masalah yang masih
membelenggu pendidikan Indonesia:
1. Kualitas
pengajar
Kompetensi guru
di Indonesia masih berada di tingkat yang sangat rendah. Padahal Budi menilai,
untuk menghasilkan murid-murid cerdas diperlukan sumber-sumber pengajar yang
kompeten.
"Nomor satu
sebenarnya faktor yang bisa membuat anak pintar atau tidak adalah guru. Jadi
memang kompetensi guru kita sangat rendah, bisa dilihat dari hasil Uji
Kompetensi Guru (UKG) itu nilainya di bawah 5 rata-rata," ujar Budi.
2. Sistem
pendidikan yang membelenggu
Di era pendidikan
4.0, seharusnya guru tidak lagi menjadi 'narasumber' utama dalam sistem
pembelajaran, melainkan sebagai pendamping, penyemangat dan fasilitator.
Artinya, bila sistem pendidikan 4.0 ingin berhasil, maka anak-anak murid kini
harus diedukasi untuk menjadi lebih aktif.
"Jadi kita
masih menganut pendidikan massal, sekolah masih 'pabrik' , itu kan edukasi 2.0.
Kita sudah di edukasi 4.0 yang sudah zamannya artificial intelligence (AI)
bukan lagi pabrik," ujarnya kepada DW Indonesia.
Budi mengharapkan
anak-anak lebih diedukasi untuk aktif belajar dan mencari tahu sesuatu dari
sumber-sumber lain di luar sekolah, misalnya lewat situs-situs yang
terverifikasi dan memiliki kredibilitas di internet.
Terlebih setiap
anak mempunyai karakter yang berbeda-beda. Mereka akan menjadi lebih cerdas
bila mempelajari suatu hal yang berkenaan dengan minat dan bakatnya.
3. Lembaga
pendidikan perlu pembenahan
Budi menekankan
perlunya meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang mencetak guru-guru
berkualitas di masa depan. Ia mencontohkan salah satunya yakni Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
"Kampus-kampus
IKIP, yang model pengajarannya seperti itu membuat guru menjadi kurang punya
ide kreativitas dan kurang eksplor dengan akademisnya. Sehingga setiap tahun
ketika ada Uji Kompetensi Guru (UKG) mereka hasilnya selalu rendah,"
sebutnya.
Baca juga:
Pengamat: Penghapusan Ujian Nasional Berikan Keadilan Pendidikan Bagi Siswa
Belajar dari
negara tetangga
Hasil penelitian
PISA menyebutkan bahwa Indonesia mendapatkan angka 371 untuk kategori membaca,
379 untuk matematika dan 396 untuk ilmu pengetahuan (sains). Indonesia
tertinggal dari Malaysia yang berada di peringkat ke-56, dengan mendapat nilai
415 untuk membaca, 440 untuk matematika dan 438 untuk sains.
Sementara,
Singapura menempati peringkat nomor dua teratas, karena mempunyai sistem
pendidikan yang matang.
"Di
Singapura penghargaan untuk guru sangat tinggi dan persyaratan untuk menjadi
guru juga tidak sembarangan. Jadi kalau tidak pintar banget, tidak bisa menjadi
guru. Kalau ogah-ogahan belajar, susah jadi guru. Tapi mereka juga dapat imbal
jasa yang sangat memuaskan," katanya.
Budi kembali
menegaskan bahwa sejumlah permasalah yang dihadapi Indonesia, seperti
kesejahteraan guru, pada akhirnya bermuara kepada kompetensi seorang pengajar
atau guru itu sendiri.
"Singapura
memang menekankan kerja keras. Jadi bukan mengurangi jam belajar, kalau saya
lihat. Kalau kita kan menekankan pada iman dan taqwa, serta anak berbahagia,
itu repot juga. Belajar itu sesuatu yang serius dan perlu disiplin bukan supaya
sekedar anak terlihat bahagia, anak beriman dan bertaqwa," jelasnya.
Tinggalkan sistem
pendidikan kuno
Budi menambahkan
bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih terlalu kuno atau ia sebut
'feodalistik', sehingga kurang menghargai kebebasan berpikir.
Budi menambahkan
bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim harus berani
menyederhanakan kurikulum, serta mengurangi aturan-aturan dan belenggu untuk
menciptakan kebebasan pendidikan.
"Jadi yang
feodalistik itu mesti dihilangkan mesti ada kesetaraan musti ada open source.
Saya kira Nadiem,
dia lima tahun ini memulai dan tidak akan bisa di stop lagi, dia sudah buka
pintu gerbangnya dan harus dilaksanakan," paparnya.
Sejak dilantik
menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim memang
hadir dengan usulan-usulan baru untuk memajukan pendidikan Indonesia, seperti
menciptakan pendidikan berbasis kompetensi dan karakter. Usulannya kini tengah
dalam tahap pengkajian di Kemendikbud.
"Peran
teknologi akan sangat besar dalam semuanya, kualitas, efisiensi dan
administrasi sistem pendidikan sebesar ini ya," pungkas Nadiem, seperti
dilansir dari Tirto.
Ia juga
menanggapi hasil survei PISA tidak boleh dikesampingkan. Justu survei ini
menjadi acuan memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia selama lima tahun ke
depan.
"Hasil
penilaian PISA menjadi masukan yang berharga untuk mengevaluasi dan
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang akan menjadi fokus
Pemerintah selama lima tahun ke depan. Menekankan pentingnya kompetensi guna
meningkatkan kualitas untuk menghadapi tantangan Abad 21," kata Nadiem
dalam keterangannya, Selasa (3/12/2019), seperti dilansir dari detikcom.
Kecenderungan
zaman telah berubah ke arah yang lebih digital. Indonesia perlu segera berbenah
dan menyongsong target pendidikan 4.0 untuk menciptakan manusia-manusia yang
cerdas dan berbudi pekerti baik.
Sumber : https://news.detik.com
0 Response to "Peringkat 6 Terbawah, Indonesia Diminta Tinggalkan Sistem Pendidikan 'Feodalistik'"