Kemdikbud Meminta Klarifikasi Pemkab Simalungun dan BPK Soal Guru Tak S1 Diberhentikan By System
Penghentian 1.695 guru bukan sarjana
dari jabatan fungsional di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara memunculkan
masalah kompleks karena terdapat guru-guru yang sudah bergelar S1 atau pun D4
tetapi tidak diakui ijazahnya karena dari perguruan tinggi tak terakreditasi
atau pun studinya ditempuh tanpa izin pemerintah daerah. Ada paradoks antara
kebutuhan guru profesional dengan perlakuan pemerintah kepada guru.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mengharapkan semua pihak terkait bisa duduk bersama untuk mencari jalan keluar
dari permasalahan tersebut. Saat ini, pemerintah pusat masih melakukan
klarifikasi kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Pemerintah Kabupaten
Simalungun.
Badan Pemeriksa Keuangan memberikan
opini tidak menyatakan pendapat (TMP/disclaimer of opinion) selama dua tahun
untuk laporan keuangan Pemkab Simalungun. Bupati Saragih Jopinus Rmli Saragih
menyatakan, opini BPK tersebut karena pembayaran tunjangan sertifikasi kepada
guru yang bukan sarjana. (Kompas cetak, 25/7/2019)
“Kami tengah mendalami temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kaitannya dengan alasan Pemkab Simalungun
menghentikan para guru tersebut. Kemdikbud juga sedang mengklarifikasi jika ada
perlakuan tidak adil kepada para guru yang ternyata memiliki ijazah S1 atau pun
D4,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Jakarta, Kamis
(25/7/2019).
Menurut Muhadjir, informasi yang
diterima pihak Kemdikbud sejauh ini adalah ada ijazah S1 guru yang tidak diakui
oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kemdikbud masih meminta penjelasan
alasannya. Muhadjir mengatakan ada beberapa kemungkinan penolakan terjadi,
salah satu dugaan ialah karena perguruan tinggi tempat guru berkuliah tidak
diakui.
Hal ini dijelaskan oleh Direktur
Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Supriano. Berdasarkan data yang
ia terima dari Bupati Simalungun JR Saragih, terdapat 350 guru yang memiliki
ijazah S1 atau pun D4, tetapi perguruan tingginya tidak memiliki akreditasi,
bisa juga tidak tercatat di data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi. Akibatnya, BKN meragukan keabsahan ijazah tersebut. “Guru-guru ini
disalurkan ke unit lain di sekolah,” tutur Supriano.
Selain itu, terdapat 250 guru yang
umurnya belum mencapai 58 tahun dan tengah menjalani perkuliahan. Mereka diberi
tambahan waktu untuk menyelesaikan perkuliahan dan lulus dengan gelar sarjana
S1 atau D4. Adapun bagi 350 guru yang umurnya di atas 58 tahun dan tidak
memiliki ijazah sarjana diputuskan untuk dipensiunkan.
Memotivasi guru
Pada kesempatan yang berbeda, Komisioner
Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) Irham Dilmy menjelaskan, aturan bahwa guru
harus memiliki ijazah minimal S1 atau D4 tercantum pada Undang-Undang (UU)
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Apabila hingga 10 tahun setelah UU
tersebut disahkan, yaitu tahun 2015, masih ada guru yang tidak berijazah
sarjana, maka akan dihentikan.
“Patut ditanyakan mengenai usaha yang
dilakukan pemerintah daerah selama sepuluh tahun ini. Adakah mereka memotivasi
guru untuk kuliah? Apakah pemda memberi kemudahan akses? Bagaimanapun juga,
guru adalah pegawai pemda,” ujarnya.
Dalam proses pembuatan aturan
sertifikasi guru terdapat dua rujukan, yaitu Permendikbud 62/2013 tentang
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan yang mewajibkan semua guru berijazah sarjana
mengambil sertifikasi untuk membuktikan bahwa mereka memang sesuai dengan
standar profesi.
Ada pula Permendikbud 37/2017, juga
mengenai Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, yang mengimbau agar guru-guru
menyelaraskan sertifikasi profesi dengan mata pelajaran yang diampu. Misalnya,
jika guru tersebut sebenarnya adalah sarjana Bahasa Indonesia tetapi selama
bertahun-tahun mengampu mata pelajaran Sejarah, melalui aturan ini, si guru
diminta melakukan sertifikasi ulang agar resmi tercatat sebagai guru Sejarah.
“Untuk ASN kuliah juga tidak bisa sembarangan,
hanya bisa di perguruan tinggi, baik negeri dan swasta yang terakreditasi. Jika
status perguruan tingginya belum terakreditasi, ijazah tidak diakui oleh BKN,”
kata Irham.
BACA
JUGA : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Akui Ribuan Guru Tak S1 Diberhentikan By System
Guru berstatus ASN juga tidak boleh
kuliah tanpa memberi tahu dinas pendidikan. Guru harus memiliki surat tugas
belajar dari pemda yang mencantumkan rincian nama perguruan tinggi dan program
studi yang diambil. Terlepas guru tersebut cuti mengajar, kuliah sambil
bekerja, dibiayai dengan beasiswa pemerintah, maupun kuliah atas inisiatif
pribadi.
“Jika ASN kuliah tanpa memberi tahu
pemerintah dan tidak ada surat tugas belajar, ijazahnya tidak bisa dipakai
untuk kenaikan pangkat,” paparnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia Unifah Rosyidi mengatakan, pemda seyogyanya melakukan
pendataan tahunan mengenai jumlah guru yang sudah sarjana dan belum sarjana.
Data itu digunakan untuk memotivasi guru-guru agar segera kuliah. Tentu dengan
memberi kemudahan mendapat izin belajar.
Dia menilai keputusan Pemkab Simalungun
berlandaskan pemikiran yang sempit. Mereka menomorsatukan administrasi
dibandingkan dengan substansi bahwa guru-guru tersebut sudah kuliah atas
inisiatif sendiri, walaupun tanpa izin pemda.
“Ini paradoks pendidikan. Di saat
masyarakat kekurangan guru, guru yang ada malah diberhentikan. Akhirnya
murid-murid yang jadi korban,” ujarnya saat dihubungi di Bangkok, Thailand,
Kamis.
Unifah meminta agar pemerintah melihat
bahwa guru-guru melanjutkan kuliah atas inisiatif dan biaya pribadi sebagai
tanda mereka memang berniat meningkatkan kompetensi. Semestinya, hal ini bisa
menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Sumber : https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/07/26/kemdikbud-klarifikasi-pemkab-simalungun-dan-bpk/
0 Response to "Kemdikbud Meminta Klarifikasi Pemkab Simalungun dan BPK Soal Guru Tak S1 Diberhentikan By System"