Kemendikbud Kurangi Beban Mengajar, Pangkas Urusan Administrasi Guru


Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengurai persoalan yang dihadapi guru mendapat dukungan parlemen. DPR berinisiatif menyiapkan payung hukum dengan merevisi UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Guru dan dosen akan dipisah dalam undang-undang yang berbeda.

Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih menuturkan, rencananya, revisi UU Guru dan Dosen masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. ”Dengan begini akan menjadi lebih spesifik,” kata Fikri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (26/11).

Pemisahan UU tersebut, papar dia, merupakan aspirasi dari kalangan guru, dalam hal ini diwakili Ikatan Guru Indonesia (IGI). DPR pun beberapa kali melakukan rapat dengar pendapat dengan IGI. Hasilnya, para guru mendorong UU memisahkan guru dan dosen.

Menurut Fikri, wacana pemisahan UU itu cukup logis. Secara karakteristik keduanya memang berbeda. Soal kualifikasi, misalnya. Guru cukup berpendidikan sarjana (S-1), sedangkan dosen minimal S-2.

Lalu, guru memiliki fungsi mengajar. Bahkan, fungsi sebagai pendidik jauh lebih dominan. Sementara itu, dosen punya tiga fungsi tridarma. Yaitu, mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. ”Perbedaan fungsi itu membuat kami ingin memisahkan UU tersebut,” katanya.

Fikri menambahkan, yang mendesak untuk direvisi adalah pasal 35 ayat 2. Itu terkait dengan beban kerja guru, yaitu sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dalam seminggu. Pihaknya berharap kewajiban guru tatap muka dikurangi menjadi minimal 10 jam dan maksimal 36 jam per minggu. Dalam UU 14/2015 disebutkan, beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu.

Revisi regulasi tersebut juga akan menekankan kesejahteraan guru swasta dan honorer. DPR mengusulkan agar guru swasta mendapatkan gaji minimal senilai upah minimum kabupaten/kota (UMK) tempat tinggalnya. ”Dengan begini, guru bisa meningkatkan kinerja dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya,” terang politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Hetifah Sjaifudian, wakil ketua komisi X yang lain, mendukung peningkatan kesejahteraan guru. Termasuk bagi guru swasta. Karena itu, dia berharap persoalan guru-guru honorer yang berstatus kategori dua (K-2) segera diselesaikan. Jumlahnya 250 ribu orang.

DPR meminta mereka diangkat sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). ”Dengan begini, kan soal kesejahteraan guru swasta pelan-pelan bisa tertangani,” ujar Hetifah.

Selain revisi UU Guru dan Dosen, Komisi X DPR berencana merevisi UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurut Hetifah, UU tersebut sudah saatnya diubah karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. ”Ada sejumlah poin yang akan kami ubah. Tahun 2003 itu kita belum mengenal pendidikan anak usia dini (PAUD),” ungkapnya.

Revisi juga menjangkau masa wajib belajar. Tidak hanya sampai 9 tahun, melainkan menjadi 12 tahun. UU Sisdiknas juga akan dikaitkan dengan perkembangan revolusi industri 4.0. ”Agar dunia pendidikan semakin kekinian,” tegas politikus Golkar itu.

Secara terpisah, pengamat pendidikan Asep Sapaat menilai pemisahan undang-undang tidak tepat untuk mengatasi segala persoalan guru. Pasalnya, yang perlu disoroti justru kebijakan-kebijakan turunan dari UU itu. ”Saya melihat tidak substantif,” katanya.

Asep mengungkapkan, UU Guru dan Dosen dibuat dengan tujuan memberikan kepastian untuk menghormati guru. Secara de jure dan de facto, UU sudah memberikan suatu jaminan tentang profesi tersebut. Dengan demikian, tidak akan ada efek apa pun ketika UU Guru dan Dosen dibuat menjadi UU yang terpisah. ”Nggak ada masalah. Karena nggak ada pengaruh (untuk guru, Red),” ungkap GM Pendidikan Dompet Dhuafa tersebut.

Dia menekankan lagi perihal kebijakan turunan dari sebuah UU untuk memastikan kesejahteraan dan kompetensi bisa membaik. Sebab, menurut dia, selama ini belum ada infrastruktur yang benar-benar memastikan hal tersebut.

Dia mencontohkan sertifikasi guru. Dari kacamatanya, sertifikasi guru di Indonesia jauh dari kata berhasil. Sebab, tata kelola guru belum dikerjakan dari hulu ke hilir. Alhasil, sertifikasi dipahami hanya sebagai tambahan income bagi sebagian guru. Bukan insentif untuk memacu guru lebih giat lagi dalam memperbaiki kompetensi. Itu akan sangat berpengaruh dalam kegiatan belajar-mengajar.

Sementara itu, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Supriano enggan mengomentari rencana pemisahan UU tersebut. Pihaknya memilih fokus merancang kebijakan sesuai arahan dalam pidato Mendikbud Nadiem Makarim. ”Ini kan baru mulai, tapi arahan Pak Mendikbud sudah ketahuan dan jelas. Kami akan mewujudkan itu,” kata pria yang akrab disapa Ano tersebut saat ditemui di Mercure Batavia kemarin.

Dia bersama jajarannya masih memilah-milah terkait penyederhanaan dan pemangkasan administrasi. Bukan hal yang mudah. Sebab, banyak aturan administrasi seperti sertifikasi dan kenaikan pangkat yang terikat dengan kementerian/lembaga lain. Misalnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN). ”Kami sisir dulu arah maksud Pak Menteri (Nadiem, Red). Jadi, ada kajian dulu. Makanya, kami belum berani jawab ke mana-mana,” katanya.

Terkait dengan program honorer, menurut Ano, kebijakan melarang sekolah untuk mengangkat tenaga honorer dan merekrut mereka yang berusia di atas 35 tahun menjadi PPPK sesuai dengan isi dan arah pidato yang dibacakan oleh Nadiem. Kebijakan tersebut dilakukan sejak 2018. ”Sudah sekitar 34 ribu guru honorer diangkat menjadi PPPK,” jelasnya.

Nah, melalui tes CPNS 2019, pemerintah membuka lowongan 63.324 guru bagi tenaga honorer yang berusia di bawah 35 tahun. ”Untuk kesejahteraan, kami sedang memperbaiki terus. Ini kan tentunya berkaitan dengan anggaran juga, ini sedang kami diskusikan dengan menteri,” ujarnya.

Sumber : https://www.jawapos.com

0 Response to "Kemendikbud Kurangi Beban Mengajar, Pangkas Urusan Administrasi Guru"