Setelah UN Dihapus, Guru Honorer Juga Harus Paham Asesmen Kompetensi
Program
Merdeka Belajar yang dicanangkan Mendikbud Nadiem Makarim, salah satunya
perubahan model ujian nasional (UN) ke asesmen kompetensi, literasi,
numerasi, dan survei karakter, yang menuntut guru harus lebih kreatif.
Guru-guru
harus bisa menyusun asesmen sendiri untuk melihat kemampuan anak didiknya. Aturan
ini menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud
Totok Suprayitno, tidak hanya untuk guru PNS.
Semua guru yang mengajar di kelas,
baik guru honorer, guru tidak tetap (GTT), guru tetap yayasan (GTY), wajib
melaksanakannya.
"Intinya semua guru yang
mengajar di kelas wajib membuat asesmen. Pemerintah tidak ikut campur karena
nanti guru jadi tidak merdeka. Merdeka Belajar di sini adalah memberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk guru mendesain proses pembelajaran dan
penilaiannya sendiri. Jadi, setiap guru akan beda-beda modelnya," tutur
Totok dalam acara taklimat media di Jakarta, Selasa (17/12) sore.
Dia
menjelaskan, perubahan tersebut karena selama ini hampir seluruh praktik
pendidikan diarahkan untuk mencapai target nilai UN.
"Ini
bahaya untuk proses pendidikan, seolah kurikulum itu untuk UN. Itu yang nanti
kami ubah. Pertama, hidupkan sistem asesmen formatif di setiap sekolah. Oleh
siapa? Oleh guru. Yang melakukan asesmen pada peserta didik adalah guru. Jangan
model asesmen seperti UN. Pilihan UN berbasis hanya pada pengetahuan dan konten
isi mapel," terangnya.
Ke
depan, lanjut Totok, anak-anak harus diarahkan kepada penguasaan kompetensi, kemampuan
berpikir kritis memecahkan persoalan, dan terpenting adalah karakter. Kemudian
asesmen portofolio misalnya olahraga, seni musik dan tari. Jadi anak-anak yang
cerdas itu bukan lagi diukur oleh nilai akademik tetapi juga talent lainnya
seperti bidang seni dan olahraga.
Kemudian
di level nasional, Totok melanjutkan, dilakukan asesmen kompetensi literasi,
numerasi, dan survei karakter.
“Apakah itu tidak
berbiaya? Ya berbiaya. Biaya bukan alasan utama untuk mengganti UN menjadi
Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kalau soal biaya, UN pun hanya berapa ribu
per anak, jadi pertimbangan biaya bukan alasan,” ujar Totok.
Dikatakan,
model AKM ini sudah dirintis sejak awal, dan sudah dimulai serta uji coba.
“Kami
sudah punya embrionya dan sudah mulai dilakukan uji coba. Sama sekali tidak
coba-coba. Sangat bahaya pendidikan itu coba-coba. Apakah akan menjamin,
insyaallah lebih baik. Kami punya keyakinan, AKM yang mengarahkan pada
penguasaan kompetensi bernalar sesuai kaidah-kaidah pendidikan. Pendidikan
tidak hanya menguasai mapel, tapi juga melatih berpikir anak. Ini yang selama
ini kurang. Kajian sudah, bahkan sudah praktik, di antaranya Asesmen Kompetensi
Siswa Indonesia (AKSI)," tandasnya.
Totok
menjelaskan, asesmen memberikan cermin dan alat refleksi bagi guru untuk
mengetahui kekurangannya di mana. Sehingga kalau guru melakukan perbaikan
kompetensi, dasarnya ada. Jadi, katakanlah kemampuan anak-anak menggunakan
konsep matematika, tentang bilangan, ternyata kurang. Ini justru lebih
mengarahkan program peningkatan kompetensi bagi guru. Kalau tidak ada itu,
tidak ada cermin.
Asemen
tidak berhenti di sini, selanjutnya untuk perbaikan. Assessment for learning.
"Jadi bukan asesmen untuk men-judge siswa pintar atau kurang pintar. Lulus
atau tidak. Yang berhak meluluskan itu tetap sekolah berdasarkan asesmen dari
guru.
Nanti
parameternya, tetap standar. Misalnya matematika sampai menguasai bilangan
pecahan. “Itu tetap ada feel ke situ. Ada proses penalaran," pungkas Plt
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) ini. (jpnn.com)
0 Response to "Setelah UN Dihapus, Guru Honorer Juga Harus Paham Asesmen Kompetensi"